Saturday, January 4, 2014

Arah dan Proyeksi Perbankan Syariah 2014

TRIBUNNEWS.COM--GELIAT ekonomi Islam atau ekonomi syariah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang semakin signifikan di penghujung 2013. Menariknya, ini terjadi di tengah terpaan krisis dan perlambatan ekonomi dunia yang terjadi di Amerika dan Eropa. 

Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah per Agustus 2013, terdapat 11 Bank Umum Syariah(BUS), 24 Unit Usaha Syariah(UUS), dan 160 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dari jumlah tersebut, perbankan Syariah berhasil meraup aset sebesar Rp 228,9 T.
Bank Syariah juga berhasil mengumpulkan dana masyarakat sebesar Rp 173,6 T dan menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 178,8 T. Dari total pembiayaan tersebut, sebesar Rp 107,2 T (60 persen) pembiayaan disalurkan untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jumlah rekening yang ada di Bank Syariah juga meningkat 28 persen dari 12,5 juta menjadi 16 juta rekening.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh peneliti BI Rifki Ismal (2013) meliris bahwa diproyeksikan pada ujung tahun 2014, total asset perbankan Syariah diproyeksikan berada pada kisaran Rp255,2 T (pesimis), Rp 283,6 T (moderat) dan maksimal Rp 312 triliun (optimis) dengan perkiraan total DPK berada pada kisaran Rp 209, 6 T (pesimis), Rp 228 T (moderat) dan maksimal Rp 239, 5 T (optimis). Dari tiga perkiraan tersebut, kue pasar perbankan Syariah diperkirakan antara 5,25%-6,25%.

Namun apabila dibandingkan dengan bank Syariah Malaysia kita masih jauh ketinggalan karena total aset perbankan Syariah Indonesia yang sebesar Rp 228,9 triliun masih jauh dari aset perbankan Syariah Malaysia yang sebesar ± Rp14000 Triliun. Apabila melihat jumlah penduduk Malaysia yang hanya ± 29 juta dengan setengahnya adalah Muslim akan tetapi mampu memaksimalkan perbankan Syariah sementara di tanah air jumlah penduduk ± 237 juta jiwa dengan hamper 80 persen adalah Muslim namun belum mampu mengejar Malaysia dalam industri keuangan syariah (Safri Haliding, 2013).

Tantangan 

Proyeksi perbankan syariah yang ditetapkan BI dapat tercapai dengan didukung oleh semua pihak dan mampu mengatasi berbagai tantangan yang masih menjadi tugas berat bagi para pelaku di industri perbankan Syariah. Berdasarkan kesimpulan yang ditetapkan oleh akademisi, pelaku, pemerhati dan pegiat ekonomi Islam, secara umum tantangan perbankan Syariah pertama, meningkatkan permodalan untuk meningkatkan kapasitas bisnis dan ekspansif, rasio kecukupan modal/CAR (Capital Adequacy Ratio) perbankan Syariah utamanya BUS yang saat ini mengalami penurunan dari 15,3% menjadi 14,7%. 

Kedua, meningkatkan inovasi produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan tetap berdasarkan pada kepatutan Syariah atau Shariah compliance agar mampu bersaing dengan inovasi produk perbankan konvensional. Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya insani-SDM yang paham dengan based practice Islamic banking dan figh muamalah. Keempat, meningkatkan edukasi dan sosialisasi ke semua lapisan masyarakat agar semakin kuat dukungan masyarakat dan mencapai target Indonesia pusat ekonomi Islam dunia sebagaimana pidato SBY dalam meresmikan Gerakan Ekonomi Syariah(GRES) pada 17 Nov. 2013 lalu. Kelima, membangun sinergi, kerjasama dan koordinasi pengawasan perbankan Syariah pada era OJK. Setelah tugas BI dilimpahkan ke OJK maka integrasi sektor keuangan mendesak dilakukan oleh OJK, BI, Badan Kebijakan Fiskal dan Kementerian Keuangan serta LPS.

Arah Optimisme

Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia memiliki peluang dan optimisme yang cerah, dan sangat menjanjikan. Saat ini pertumbuhan ekonomi nasional masih tinggi dibandingkan dengan kondisi negara lain yang mencapai 6.5% kondisi ini akan mendukung pertumbuhan perbankan Syariah meskipun kondisi terakhir terjadi penurunan nilai tukar rupiah yang tajam namun hal itu sifatnya temporary oleh kondisi ekonomi dunia dan jatuh tempo utang pemerintah dan swasta. 

Berdasarkan kajian tim ekonomi nasional disimpulkan Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi paling stabil di dunia dalam 20 triwulan terakhir dan dalam delapan tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6,1–6,2% per tahun, dengan proyeksi 2014 tumbuh berkisar 6,3–6,7%. Indonesia tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India.

Di sisi lain yang mendukung optimisme perbankan syariah adalah meningkatnya kelas ekonomi menengah yang ditandai dengan meningkatnya dan tingginnya komsumsi masyarakat dan investasi dalam negeri yang menjadi penopang utama roda ekonomi nasional yang berkontribusi 88 % dari total produk domestic Bruto (PDB), ini adalah peluang besar untuk mengarahkan ke komsumsi syariah.

Dengan geliat perkembangan ekonomi syariah yang memukau, arah pengembangan dan peningkatan kualitas perbankan syariah ke depan diharapkan fokus pada terobosan pelayanan dan pembiayaan yang sinergi lintas sektoral seperti konstruksi, listrik dan gas, pertanian dan industri kreatif, sektor produktif untuk start up business dan sektor Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) serta proyek-proyek skala prioritas dalam inisiatif MP3EI (Master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia dan mengejar implementasi komitmen pemerintah terhadap pengalihan mayoritas dana haji kepada perbankan syariah, pendirian Bank BUMN Syariah dan pendirian bank wakaf. Maka dengan sendirinya Indonesia menuju pusat Ekonomi Syariah Dunia benar-benar tercapai.(*)

Oleh;
Safri Haliding MSc
Anggota Forum Dosen Majelis Tribun Timur dan Sekum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Komisariat Unismuh Makassar

Dubai likely to be next leader in Islamic economy evolution: Thomson Reuters

GULFNEWS.COM--Dubai: While there are various major centres of Islamic economy — all in Asia — Dubai could emerge as the leader in the next phase of the evolution of Sharia compliant sectors, including finance and insurance, Halal food and lifestyle, and travel, according to a summary of Thomson Reuters’ first State of the Global Islamic Economy Report 2013, which will be released on Monday at the first Global Islamic Economy 

Summit in the emirate.

Malaysia, considered to be the strongest centre of an all-round Islamic economy sector, may have reached a point of “stagnation” and so, Dubai, with a clear vision of establishing itself as the centre of a global Islamic economy, looks likely to be the one with the biggest potential, says the Report summary. The other major centres are Saudi Arabia, Turkey and Indonesia.

On October 5, His Highness Shaikh Mohammad Bin Rashid Al Maktoum, Vice-President and Prime Minister of the UAE and Ruler of Dubai, unveiled a strategic plan for “capital of Islamic economy” for the emirate. The plan includes seven key pillars and 46 strategic initiatives to be implemented within three years.

Long-term benefits

Sami Al Qamzi, Director General of Dubai’s Department of Economic Development and vice chairman of the Supreme Committee of the Dubai Islamic Economy, told Gulf News that the aim of Shaikh Mohammad’s initiative to make Dubai a global capital for the Islamic economy is to bring long-term benefits to the economy as a whole.

“We expect it to gather momentum over time,” Al Qamzi said. “Dubai, being a pioneer in many forward looking initiatives, is looking to capitalise on its inherent strengths to develop a new economic paradigm that would not only add value to our economy but also potentially offer solutions to global economic issues.”
Infographic

Global Islamic economy

Globally, opportunities for Islamic capital lie not just in furthering Islamic Finance, which is now well established across geographies, but also, identifying other sectors of the economy, including Halal food and lifestyle and Muslim travel, the potential of which could make the Sharia compliant economic system a competing alternative, according to the report summary.

With Muslim consumer expenditure globally on food and lifestyle sectors around $1.62 trillion (Dh5.9 trillion) in 2012 and expected to reach $2.47 trillion by 2018, the report sees that as a potential core market for the Halal food and lifestyle sectors.

Diversified economy

And Dubai emerging as a hub in Halal and lifestyle as well as Muslim tourism sectors is highly likely because of the way it has diversified its economy.

In two years Dubai could make a trusted name for itself in the Halal industry, according to Jasem Mahadik, project Manager at Al Maali Trading and Consultancy, an Islamic Finance solution provider.
Dubai’s development of a strong network of logistics facilities and services for the production of Halal products could make the emirate a global hub for this industry, he said.

“In a very short time Dubai will establish a centre for Islamic economy standard and certification which will make the emirate a reference for the issuance of global governance standards,” Mahadik added.
The major sectors of Islamic economy include Islamic finance and Insurance, Halal food, and Islamic values influenced travel, clothing, pharmaceutical/cosmetics and media recreation.

“While these Islamic economy sectors are potentially large in size, the synergistic opportunities for growth and investments are larger and could even be a necessity in true realisation of their individual visions,” the report’s author Sayd Farook, Global Head Islamic Capital Markets at Thomson Reuters said in the statement released today.

DFSA Signs 26 Agreements With EU Regulators

Continuous collaboration with international regulators has been at the forefront of the Dubai Financial Services Authority’s (DFSA’s) engagement objective this year, and as such, the DFSA has entered into 26 supervisory co-operation agreements with European Union (EU) and European Economic Area (EEA) securities regulators. Under these agreements, each regulator agrees to help each other supervise fund managers operating across borders, between the Dubai International Financial Centre (DIFC) and Europe.
 
The DFSA negotiated the agreements with the European Securities and Markets Authority (ESMA). The DFSA’s Chief Executive Mr Ian Johnston signed the Memoranda of Understanding (MoUs) with 26 EU regulators last month. The EU signatories to these agreements are: France, UK, Netherlands, Ireland, Portugal, Spain, Italy, Luxembourg, Cyprus, Sweden, Finland, Denmark, Norway, Iceland, Liechtenstein, Hungary, Malta, Lithuania, Greece, Belgium, Bulgaria, Poland, Estonia, Latvia, Czech Republic and Romania.
 
The agreements under the MoUs allow fund managers in the DIFC to manage and market Alternative Investment Funds (AIFs) to professional investors in the EEA under the rules of the Alternative Investment Fund Managers Directive (AIFMD). AIFs include hedge funds, private equity funds and real estate funds. Managing and marketing such funds into Europe will allow DIFC-based fund managers to access a greater pool of investors. It is hoped that with a strong distribution network and a sustainable distribution model, the MoUs will prove beneficial for the industry in the DIFC.
 
Mr Ian Johnston, Chief Executive of the DFSA said: “The DFSA’s efforts to improve cross-border opportunities will further facilitate investment flows and will benefit investors and the funds industry. In addition, it reflects the DFSA’s commitment to enhance the economy of the UAE and Dubai, furthering Dubai’s position as a prominent financial centre.” 
 
The DFSA already has in place bi-lateral agreements with 13 of its European counterparts and enjoys strong and close relationships with them ensuring that fund managers are well supervised in the DIFC and in Europe.

Loan Growth, Profitability and Risk Appetite on the Rise

GULFNEWS.COM--Dubai: Loan growth in the UAE’s banking sector is picking up pace helped by the positive economic growth, improving consumer confidence and declining risk aversion and non-performing loans.
According to the The Banker’s “Top 1000 World Banks 2013” report, the UAE banking sector’s net assets have risen more than ten-fold from $49 billion (Dh180 billion) in 1995 to $509 billion in mid-2013. The UAE banking sector directly employs more than 34,400 staff as of mid-2013, more than doubling since 2000.
Financial results of the UAE banks for the first nine months of 2013 show, most banks stopped the sharp deleveraging that followed the financial crisis and the loan growth has started picking up momentum.
Large banks have reported high single digit growth in the first nine months of the year. While Emirates NBD’s customer loans as at September 30, 2013 (including Islamic financing) amounted to Dh234.4 billion, an increase of 7 per cent from the end of 2012 National Bank of Abu Dhabi’s (NBAD) loans increased 5.2 per cent to Dh182.5 billion. NBAD’s total assets in January-September period increased 14.8 per cent to Dh345.1 billion while loans increased 10.9 per cent in the same period.
“A difficult period of balance sheet repair has been completed. Banks went through a period of deleveraging and provisioning. With stronger balance sheet and sufficient liquidity in the system, the UAE’s banks are ready to increase lending,” said George T Abed, senior counsellor and director for Africa and Middle East of Institute of International Finance (IIF).
Confidence
A number of smaller banks too have reported double digit loan growth on an annualised basis. While First Gulf Bank’s loans and advances grew at a year-to-date growth of 10.7 per cent for the first 9 months of the year, Commercial Bank of Dubai reported a loan growth of 11.9 per cent.
“The banking industry is safe and secure in the UAE and the overall confidence in the UAE banks is justifiably strong,” the Governor of the UAE Central Bank, Sultan Nasser Al Suwaidi, said earlier this month.
A decline in the rate of growth of non-performing loans combined with improved liquidity and surge in lending has helped most UAE banks to improve their profitability this year.
“The banks here received strong sovereign support, which helped them to remain highly liquid during the crisis years. While capital levels remained exceptionally high during the period, improving economic activity has helped the asset quality,” said Timucin Engin, Associate Director, Ratings Analytical Financial Institutions at Standard & Poor’s.
Credit rating agency Moody’s Investors Service recently upgraded the outlook for the UAE’s banking sector to stable from negative. The outlook change reflects the continued improvements in the operating environment, as well as the ongoing recovery of the local real-estate market, which Moody’s believes will lead to a decline in non-performing loan levels and an increase in profitability over the next 12 to 18 months.
Restructurings
Moody’s expects declines in the problem loans to gross loans ratio to 8 to 9 per cent range over the outlook period, from a 10.5 per cent average at year-end 2012. While the ongoing real estate market recovery and more cautious underwriting during the downturn period are expected to lead to lower new problem loan formation. Asset quality metrics are also be supported by a reduction in the stock of problem loans due to the increasing volume of settlements, recoveries and commercial restructurings.
Rating agencies expect that the increase in net income will provide UAE banks with the internal capital generation capacity necessary to support asset growth over the outlook period, whilst maintaining their strong Tier 1 capital levels, which stood at around 16 per cent as of June 2013.
“In addition to the shock-absorption capacity provided by robust capital metrics, we also anticipate that the banking system will maintain its strong funding and liquidity profile. The cash-rich federal government and stronger Abu Dhabi-based government related entities will continue to remain a key and stable source of deposits, limiting the system’s dependence on confidence-sensitive market funding.” said Khalid Howladar Vice President — Senior Credit Officer at Moody’s
Despite the upgraded outlook, Moody’s warns that exposures to large corporate restructurings and government-related issuers (GRIs) will continue to pose asset-quality risks, particularly for Dubai-based banks.

U.A.E. Nears Debt Listing Rules to Boost Sales: Islamic Finance

BLOOMBERG.COM--The United Arab Emirates is in the final stages of creating debt issuance and listing regulations that will help develop a domestic credit market and encourage the sale of Islamic bonds, the market regulator said.

The Securities and Commodities Authority, or SCA, has circulated draft rules that for the first time treat sukuk and non-Shariah compliant debt separately. The regulator is seeking feedback from market participants by the end of the year and “hopes” to enact the regulations early in 2014, according to Obaid Al Zaabi, director of research and development at SCA.

The U.A.E., the second-biggest Arab economy, must develop local debt markets to help state-run and private companies find alternatives to bank loans, Central Bank Governor Sultan Al-Suwaidi said last month. The country is the only one in the six-nation Gulf Cooperation Council that doesn’t have a domestic, local-currency debt market.

“The new sukuk and bond regulations are built around giving more room for local issuance to be listed in local markets, instead of going abroad,” Al Zaabi, who is leading the team that developed the sukuk regulation, said by phone yesterday. “We’re opening the door for them and trying to make the regulations more durable and more feasible.”

Islamic Hub

Global issuance of Islamic bonds, which comply with the religion’s ban on interest, will climb to $60 billion next year, Moody’s Investors Service said in a report last month, up from about $51 billion in 2013. The rules will boost issuance and listing of sukuk in the U.A.E., Al Zaabi said.

“Sukuk essentially is not considered as a debt certificate, but rather a certificate of ownership,” Al Zaabi said. “The requirements, in terms of disclosure, listing, and trading, totally differ to conventional bonds. So the SCA management saw it was a good idea to make it separate.”

Dubai, one of seven sheikhdoms that make up the U.A.E. and home to the country’s second-largest stock market, announced a plan this year to become capital of the global Islamic economy. The emirate’s ambition is one of the incentives for the SCA to put the rules in place as soon as possible, Al Zaabi said.

Rival Malaysia

Dubai and the U.A.E. have a lot of catching up to do before domestic sukuk issuance rivals that ofMalaysia or Saudi Arabia. The Asian country’s issuers have sold about $168 billion, or two-thirds of all outstanding Shariah-compliant bonds, while Saudi Arabia has about $22 billion of domestic sukuk outstanding, according to Moody’s.

The U.A.E.’s debt rules will bring listing and issuance in line with best practices, Al Zaabi said. Clifford Chance LLP was appointed to develop the sukuk regulations, while Bracewell & Giuliani LLP worked on the bond rules, he said.

“The upgraded rules for both bonds and sukuk will cover all aspects of industry requirements,” Al Zaabi said. “From the application onwards there will be continuous disclosure requirements.” (Samuel Potter)

MENAG Umumkan 17 Bank Penerima Setoran Haji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Suryadharma Ali mengumumkan 17 bank yang lolos seleksi untuk menerima setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dari 30 bank yang mengikuti proses seleksi, sepuluh bank dinyatakan tidak memenuhi syarat.

"Saat ini dana haji mencapai 60 triliun rupiah. Angka tersebut bisa meningkat menjadi 100 triliun pada 2020. Bahkan mungkin jadi 150 triliun rupiah kelak," kata Menag, menekankan pentingnya keseriusan menjalankan amanah untuk mengelola dana haji.

Untuk mengantisipasi krisis ekonomi maka sebagian besar penempatan dana lebih banyak di sukuk pasalnya, dana yang dijamin LPS maksimal hanya 2 miliar rupiah. "Memang banyak kelebihan dan kekurangannya. Kalau di bank, penempatannya jangka pendek dan manfaatnya bervariasi, sedang di sukuk tenornya lebih panjang dan bisa membiayai proyek Kemenag misalnya pembangunan asrama haji, proyek pendidikan, dan lain-lain," kata Suryadharma.

Berdasarkan laporan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Anggito Abimanyu, 17 bank tersebut adalah 6 (enam) Bank Umum Syariah (BUS) yaitu:
1.      Bank Syariah Mandiri (BSM),
2.      Bank Muamalat,
3.      Bank Mega Syariah,
4.      Bank BNI Syariah,
5.      Bank BRI Syariah,
6.      Bank Panin Syariah.

11 (sebelas) bank lainnya adalahmBank Umum Nasional yang memiliki Layanan syariah yaitu:
7.      Bank BTN,
8.      Bank Permata,
9.      Bank CIMB-Niaga,
10.  Bank Sumut,
11.  Bank DKI,
12.  Bank Jateng,
13.  Bank Jatim,
14.  Bank Kepri,
15.  Bank Sumselbabel,
16.  Bank Nagari,
17.  Bank Aceh.

Penempatan dana di bank-bank tersebut akan menggunakan akad mudharabah muqayaddah. Sementara 3 (tiga) bank umum lainnya dinominasikan untuk berfungsi sebagai bank transito. "Bank tersebut akan menutup kesenjangan persebaran wilayah layanan yang belum terakomodasi oleh perbankan syariah," kata Anggito pada kesempatan sama.

10 (sepuluh) bank yang tidak memenuhi persyaratan telah dicabut izinnya sebagai bank penerima setoran BPIH. Bank ini diharuskan memberi penjelasan kepada publik dan pemindahan data serta dana jamaah.  "Penetapan dan pencabutan sebagai BPS-BPIH akan dimulai pada 1 Januari 2014," papar Anggito.

Menurut Anggito, ada beberapa alasan dibalik likuidasi sejumlah bank tersebut. Ia menolak menyebutkan identitas bank-bank tersebut. "Alasannya bisa terkait teknis, administratif, likuiditas, risiko, dan lain-lain," ungkapnya.

Reporter : Yeyen Rostiani
Redaktur : Ajeng Ritzki Pitakasari

BI Harap Pangsa Pasar Syariah di Kisaran 5,25-6,25%

InfoBankNews.com–Bank Indonesia (BI) mematok target pangsa pasar perbankan syariah bisa masuk kisaran 5,25% hingga 6,25% pada 2014, memanfaatkan kondisi perbankan konvensional yang diarahkan untuk mengerem pertumbuhannya.

“Industri keuangan syariah menghadapi banyak halangan. Mudah-mudahan di tahun depan dapat tercapai yang diperkirakan antara 5,25-6,25%,” ucap Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo, di Gedung BI, Jakarta, Senin, 16 Desember 2013.

Pada tahun depan, bank sentral kembali menetapkan tiga skenario, yakni pesimis, moderat dan optimis. Untuk skenario pesimis, total aset perbankan syariah dipatok Rp255,21 triliun, dana pihak ketiga (DPK) Rp209,66 triliun dan pembiayaan Rp216,72 triliun.
Untuk skenario moderat, aset dipatok Rp283,57 triliun, DPK 220,69 triliun dan pembiayaan Rp228,13 triliun. Sementara untuk skenario optimis aset diproyeksi mencapai Rp311,92 triliun, DPK Rp232,82 triliun dan Rp239,54 triliun.

“Proyeksi di Departemen Perbankan Syariah menggunakan asumsi makro, namun tetap berdasarkan business plan bank. Tapi memang (realisasi) tidak selalu sesuai dengan apa yang ada dalam rencana bisnis,” sambung Direktur Eksekutif Perbankan Syariah BI Edy Setiadi.

Ia menambahkan, untuk mendukung pengembangan perbankan syariah ke depan bank sentral akan merilis aturan kelembagaan, di mana bank umum syariah dan unit usaha syariah bisa memanfaatkan jaringan kantor induk usaha bank konvensionalnya secara langsung. Seperti diketahui, saat ini untuk membuka office channeling di jaringan bank induk konvensional, bank syariah atau unit usaha syariah harus lebih dahulu menghadirkan kantor cabang syariah terlebih dahulu. (*)



FDR Bank Syariah 100% Masih Aman

InfoBankNews.com– Bank Indonesia (BI) menilai rasio pembiayaan terhadap DPK (FDR) perbankan syariah di level 100% masih aman, kendati untuk bank konvensional rasio LDR telah diturunkan dari 100%, dan kini dipatok maksimal sebesar 92%.

“FDR saat ini 103%. Kalau kita pelajari ini terdiri dari yang dimiliki oleh BUS (bank umum syariah) dan UUS (unit usaha syariah) memberikan kontribusi ke angka itu,” ujar Direktur Eksekutif Perbankan Syariah BI Edy Setiadi, di Jakarta, Senin, 16 Desember 2013.

Ia menambahkan, kebanyakan BUS memiliki FDR di bawah 100%, walau ada juga yang FDR-nya melampaui angka tersebut. Sementara untuk UUS, lanjut Edy, rasio FDR di atas 100% masih dibolehkan karena ada dorongan dari induk usaha terkait likuiditas.

Menurutnya, pertumbuhan DPK selama tahun ini mencapai 18% pada posisi Oktober dibandingkan Desember 2012. Sementara dalam setahunan tumbuh 29,4%. Hal ini imbuh Edy, masih lebih baik ketimbang pertumbuhan DPK perbankan konvensional. Namun, katanya, pada dua bulan terakhir biasanya pertumbuhan DPK membaik dan bisa sampai 30%.

Terkait dengan kondisi perlambatan ekonomi nasional dan global, bank sentral memang tengah menyoroti likuiditas perbankan, sehingga menurunkan batas atas aturan GWM-LDR bank konvensional dari 100% menjadi 92%. Bila sebuah bank memiliki LDR di atas itu, masih dimungkinkan selama rasio kecukupan modal (CAR) di atas 14%. Untuk menjaga FDR, kemampuan bank untuk menambah DPK memang menjadi hal yang sangat penting.

“Memang belum ada kententuan (GWM-LDR), kalau di konvensional 78-92%. Di bank syariah belum ada batasan. Jadi supaya nanti tak ujug-ujug, kita sudah minta mereka secara supervisory action agar jaga FDR di level 100%. Kalkulasi kita 100% itu sudah sesuai, beda dengan konvensional yang maksimal 92%,” tutur Edy.

Hal ini, jelasnya, disebabkan karena fasilitas pasar keuangan syariah masih sedikit. Akan berbeda bila kondisi pasar keuangan syariah sudah lebih dalam, mengingat sebelum disalurkan menjadi pembiayaan DPK akan lebih dulu masuk ke instrumen keuangan syariah seperti Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan Surat Berharga Negara Syariah (SBNS). (*)


Pembiayaan Syariah Harus Bidik Sektor Produktif

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) meyakini perbankan syariah masih tetap agresif di 2014. Hal ini terbukti dari proyeksi BI bahwa aset perbankan bisa tumbuh dengan skenario moderat sebesar Rp 283,5 triliun.

BI juga memproyeksi pangsa pasar perbankan syariah mulai menggeliat di atas lima persen. Hingga akhir 2014, BI memperkirakan pangsa pasar perbankan syariah antara 5,25 persen hingga 6,25 persen.

Namun, bukan berarti perbankan syariah tanpa masalah. Berdasarkan Outlook Perbankan Syariah 2014 versi BI, masih ada kemungkinan tantangan besar menghadang pertumbuhan perbankan syariah.Tantangan tersebut bersumber dari dampak ekonomi lanjutan atas krisis keuangan global. Hal ini mengakibatkan perlambatan perekonomian di banyak negara di dunia termasuk Indonesia.

Direktur Eksekutif Perbankan Syariah, Edy Setiadi mengatakan selama iniperbankan syariah Indonesia memang imun dari krisis. Hanya saja setelah pertumbuhan makro terkoreksi maka perbankan syariah mulai terpengaruh.Hal ini terbukti dengan pertumbuhan aset pertahun hingga Oktober 2013 sebesar 31,8 persen. Angka ini menurut data BI melambat dibandingkan 2012, yang mencapai 34,1 persen. Namun berdasarkan data BI proyeksi ini masih berada pada proyeksi pertumbuhan 2013, yaitu masuk kategori moderat. 

Pengamat perbankan Lana Soelistianingsih mengatakan di 2014, pasar keuangan syariah masih akan terus tumbuh. Karena, ucap dia, ceruk pangsa pasar sektor perbankan Islami ini masih sangat kecil. Oleh karena itu perbankan syariah juga harus lebih agresif lagi. Khususnya mengejar pembiayaan beberapa sektor yang tetap berkibar atau tumbuh di 2014.Sektor tersebut adalah hotel, restoran, transportasi, telekomunikasi dan manufaktur. 

Sektor diatas akan berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi di 2014. Berdasarkan outlook BI, bank sentral ini mengarahkan pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah di atas 30 persen. 
Bagi Lana hal ini tak masalah selama tingkat NPF masih rendah atau setara dengan dengan perbankan nasional. Oleh karena itu pilihan perbankan syariah dalam penyaluran pembiayaan harus bervariasi. 

Khususnya kepada sektor yang benar-benar produktif dan keuangannya lancar.NPF perbankan syariah memang mengalami tren peningkatan, akan tetapi masih terkendali yaitu 2,96 persen dibawah 5 persen.Sedangkan NPL bank konvensional hanya sebesar 1,8 persen.

Reporter : Ichsan Emrald Alamsyah
Redaktur : Nidia Zuraya

Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2014 Menyongsong Otorisasi OJK

Melihat perkembangan industri perbankan syariah nasional terakhir, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati, diantaranya otoritas industri yang baru yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pencapaian market share psikologis industri 5 persen dan dimulainya periode krusial untuk persiapan implementasi mandat UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan liberalisasi pasar regional Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jika dilihat secara sejarah, industri perbankan syariah pada dasarnya terbagi menjadi 3 periode besar pertumbuhan.

Yaitu, periode inisiasi dimana berdiri pertama kali bank syariah di Indonesia tahun 1992, periode pengembangan ditunjukkan dengan munculnya pelaku baru baik berupa Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS) sejak tahun 2000, dan periode pemapanan ditan dai dengan disahkannya UU Perbankan Syariah tahun 2008. Dengan disah kannya UU No 21 tahun 2011 tentang OJK, kini industri ini akan memasuki periode baru dimana otoritas industri akan beralih dari Bank Indonesia kepada OJK, dan secara resmi peralihan itu akan dimulai tahun 2014.

Pada periode pertama hingga tahun 2000, tidak ada petumbuhan yang signifikan dari industri perbankan syariah, karena memang industrinya belum terbangun, dimana di da lamnya hanya ada pelaku tunggal yaitu Bank Muamalat Indonesia. Namun prestasi bank syariah pertama tersebut yang mampu bertahan dengan baik pada masa krisis keuangan 1997-1998 ditambah dengan tuntutan masyarakat yang begitu tinggi, membuat keran kebijakan dan regulasi terbuka untuk muncul bank syariah baru pada tahun 2000. Sejak itu Industri perbankan syariah nasional memasuki periode kedua yaitu periode perkembangan, dimana muncul 2 BUS baru dan 3 UUS. Dapat dikatakan periode pengembangan adalah era UUS mengingat pertambahan UUS yang cukup menonjol dari 3 UUS tahun 2000 menjadi 26 UUS pada tahun 2008. Selanjutnya pesatnya pertumbuhan industri yang mampu tumbuh lebih dari dua kalilipat dari pertumbuhan perbankan nasional, memancing perhatian pemerintah untuk memapankan industri ini dengan munculnya UU Perbankan Syariah yang telah lama ditunggu.

Industripun merespon kemapanan ini dengan menaikkan status (spin-off) bank-bank syariah dari bentuk UUS menjadi BUS. Periode pemapanan ini ditandai de ngan perubahan komposisi BUS-UUS dari 3 BUS dan 28 UUS menjadi 6 BUS dan 25 UUS. Saat ini komposisinya telah berkembang menjadi 11 BUS dan 23 UUS dengan asset yang telah menembus lebih dari Rp 200 triliun (per Oktober 2013).

Dengan konstelasi seperti itu, menarik melihat dinamika yang akan terjadi pada tahun 2014. Diyakini bahwa pertumbuhan dan atmosfer ekonomi makro tahun 2014 akan lebih baik dari tahun ini. Banyak lem baga ekonomi baik domestik maupun internasional termasuk Bank Indonesia yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5-6 persen dengan tingkat inflasi yang relatif terkontrol pada kisaran 4,5 plus- minus 1 persen. Kestabilan ekonomi domestik tentu menjamin irama positif pertumbuhan industri perbankan syariah nasional. Bank Indonesia pada tanggal 16 Desember 2013 lalu telah mengeluarkan outlookperbankan syariah 2014, dimana diperkirakan secara moderat pertumbuhan industri berdasarkan asetnya sebesar 19 persen ? 29 persen. Perkiraan ini memang terkesan lebih pesimis di bandingkan dengan pertumbuhan dalam satu tahun terakhir yang mencapai rata- rata 38 persen dengan pertumbuhan terendah 34 persen pada bulan Januari dan tertinggi 46 persen pada bulan Mei. Dengan kondisi yang relatif sama, sebenarnya ruang pertumbuhan industri perbankan sya riah nasional masih cukup terbuka ada di kisaran 30-35 persen. Namun dengan asumsi bahwa tahun 2014 merupakan tahun peralihan otoritas perbankan dari BI ke OJK, dimana industri perbankan khususnya dan industri keuangan nasional secara umum akan lebih terfokus pada pembenahan kelembagaan, sehingga implikasinya diperkirakan tidak ada kebijakan yang signifikan yang akan diambil untuk mengakselerasi pertum- buhan industri lebih tinggi.

Dengan demikian, sebagai konsekuensi yang juga wajar, maka di harapkan pembenahan kelembagaan meliputi pembenahan pondasi dasar yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah nasional, yaitu kebutuhan mendesak akan masterplan pengembangan industri perbankan syariah nasional. Momentum penyatuan kewenangan regulasi industri keuangan Indonesia dibawah satu payung OJK seharusnya menjadi mo mentum yang tepat untuk memperoleh sebuah grand masterplan pengembangan system keuangan nasional yang kuat dan fokus pada ke manfaatan maksimal bagi perekonomian Indonesia.

Terlebih lagi OJK memiliki amanah tambahan dengan disahkannya UU No. 1 tahun 2013 ten tang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), maka sempurna pengawasan industri keuangan nasional yang dilakukan oleh OJK, dari industri ke uangan mikro yang melayani segmen masyarakat usaha mikro kecil sampai dengan industri keuangan menengah besar (dominan oleh perbankan dan pasar modal) yang melayani segmen masyarakat usaha menengah dan besar.

Menghadapi periode krusial un tuk implementasi UU Perbankan Syariah dimana tahun 2023 seluruh pelaku perbankan syariah harus ber bentuk BUS dan pemberlakukan liberalisasi keuangan atas kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2020 (khusus sektor keuangan), perlu mendapat perhatian yang lebih dari OJK. Kesiapan regulasi dan kebijakan yang menciptakan lingkung anindustri yang kondusif, memfasilitasi pemenuhan kebutuhan SDM yang kompeten, kelengkapan infrastruktur yang mendorong pelayanan menyeluruh bagi semua segmen usaha dan mendorong kinerja dan jangkauan pelayanan lembaga keuangan pada seluruh segmen masyarakat usaha Indonesia. OJK masih memiliki wak tu yang cukup untuk menyiapkan itu semua.

Namun kebutuhan yang paling mendesak untuk segera disediakan adalah tersedianya grand masterplanpengembangan industri keuangan nasional. Tentu masterplan pengembangan industri tersebut di susun secara terencana dengan sistematis dan terukur. Sejauh ini dokumen resmi terkait ini sudah sering didiskusikan, baik berupa BlueprintPengembangan Perbankan Syariah, Arsitektur Perbankan Indonesia (API) maupun Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), namun roadmap tersebut belum menjadi platform bersama yang secara resmi berlaku dandipahami dengan baik sehingga menyatukan visi dan strategi teknis pengembangan industri. Hal ini tentu menjadi tantangan awal bagi OJK. Sebagai lembaga otoritas dari hampir meliputi semua industri dalam system keuangan nasional, OJK tentu sangat membutuhkan roadmap pengembangan industri.

Dengan demikian, tahun 2014 menjadi tahun yang didominasi oleh upaya konsolidasi industri keuangan khususnya industri perbankan syariah. Konsekuensi hukum dari berlakunya UU OJK harus diikuti dengan penyesuaian UU Perbankan termasuk UU Perbankan Syariah yang akan menjadi amanah OJK. Tantangan berat pengembangan industri keuangan syariah termasuk perbankan syariah didalamnya, memang akhirnya terletak pada harmonisasi kebijakan dan regulasi yang diintegrasikan dalam satu payung OJK. Tetapi diyakini bahwa keterpaduan ini akan memberikan efek akselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah nasional karena diharapkan integrasi pengaturan akan mereduksi atau bahkan mengeliminasi hambatan yang selama ini ada. Gaung sosialisasi perbankan syariah akan lebih nyaring terdengar dengan baju kampanye industri keuangan syariah nasional, karena skala promosi akan relatif lebih massif dan impactnya akan lebih signifikan.

Konsekuensi turunan pada penyiapan SDM di sektor pendidikan akan lebih serius dilakukan karena akan merujuk pada skala industri keuangan syariah yang terlihat jauh lebih besar dan lebih nyata. Dan terakhir, skala besar yang mencerminkan peran dan kontribusi industri keuangan syariah nasional termasuk perbankan syariah, akan lebih menggugah peme rintah untuk lebih mengambil peran aktif dalam mendorong industri ini, seperti menyediakan insentif kebijakan seperti yang selama ini dinikmati industri yang sama di negara lain, misalnya insentif pajak, keberpihakan memanfaatkan industri keuangan syariah dalam pengelolaan treasury lembaga negara dan lain sebagainya. Semoga semua harapan ini tidak sekedar menjadi harapan. Wallahu a'lam.

Oleh: Ali Sakti (Pengamat Perbankan Syariah dan Peneliti Tamu FEM IPB)
http://www.kopsyahirsyady.com/features-mainmenu-47/submenupendaftaran/542-outlook-perbankan-syariah-indonesia-2014-menyongsong-otorisasi-ojk