Melihat perkembangan industri perbankan syariah nasional
terakhir, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati, diantaranya otoritas
industri yang baru yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pencapaian market share
psikologis industri 5 persen dan dimulainya periode krusial untuk persiapan
implementasi mandat UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan
liberalisasi pasar regional Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jika dilihat secara
sejarah, industri perbankan syariah pada dasarnya terbagi menjadi 3 periode
besar pertumbuhan.
Yaitu, periode inisiasi dimana berdiri pertama kali bank syariah
di Indonesia tahun 1992, periode pengembangan ditunjukkan dengan munculnya
pelaku baru baik berupa Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS)
sejak tahun 2000, dan periode pemapanan ditan dai dengan disahkannya UU
Perbankan Syariah tahun 2008. Dengan disah kannya UU No 21 tahun 2011 tentang
OJK, kini industri ini akan memasuki periode baru dimana otoritas industri akan
beralih dari Bank Indonesia kepada OJK, dan secara resmi peralihan itu akan
dimulai tahun 2014.
Pada periode pertama hingga tahun 2000, tidak ada petumbuhan
yang signifikan dari industri perbankan syariah, karena memang industrinya
belum terbangun, dimana di da lamnya hanya ada pelaku tunggal yaitu Bank
Muamalat Indonesia. Namun prestasi bank syariah pertama tersebut yang mampu
bertahan dengan baik pada masa krisis keuangan 1997-1998 ditambah dengan
tuntutan masyarakat yang begitu tinggi, membuat keran kebijakan dan regulasi
terbuka untuk muncul bank syariah baru pada tahun 2000. Sejak itu Industri
perbankan syariah nasional memasuki periode kedua yaitu periode perkembangan,
dimana muncul 2 BUS baru dan 3 UUS. Dapat dikatakan periode pengembangan adalah
era UUS mengingat pertambahan UUS yang cukup menonjol dari 3 UUS tahun 2000
menjadi 26 UUS pada tahun 2008. Selanjutnya pesatnya pertumbuhan industri yang
mampu tumbuh lebih dari dua kalilipat dari pertumbuhan perbankan nasional,
memancing perhatian pemerintah untuk memapankan industri ini dengan munculnya
UU Perbankan Syariah yang telah lama ditunggu.
Industripun merespon kemapanan ini dengan menaikkan status
(spin-off) bank-bank syariah dari bentuk UUS menjadi BUS. Periode pemapanan ini
ditandai de ngan perubahan komposisi BUS-UUS dari 3 BUS dan 28 UUS menjadi 6
BUS dan 25 UUS. Saat ini komposisinya telah berkembang menjadi 11 BUS dan 23
UUS dengan asset yang telah menembus lebih dari Rp 200 triliun (per Oktober
2013).
Dengan konstelasi seperti itu, menarik melihat dinamika yang
akan terjadi pada tahun 2014. Diyakini bahwa pertumbuhan dan atmosfer ekonomi
makro tahun 2014 akan lebih baik dari tahun ini. Banyak lem baga ekonomi baik
domestik maupun internasional termasuk Bank Indonesia yang memperkirakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5-6 persen dengan tingkat inflasi yang
relatif terkontrol pada kisaran 4,5 plus- minus 1 persen. Kestabilan ekonomi
domestik tentu menjamin irama positif pertumbuhan industri perbankan syariah
nasional. Bank Indonesia pada tanggal 16 Desember 2013 lalu telah mengeluarkan
outlookperbankan syariah 2014, dimana diperkirakan secara moderat pertumbuhan
industri berdasarkan asetnya sebesar 19 persen ? 29 persen. Perkiraan ini
memang terkesan lebih pesimis di bandingkan dengan pertumbuhan dalam satu tahun
terakhir yang mencapai rata- rata 38 persen dengan pertumbuhan terendah 34
persen pada bulan Januari dan tertinggi 46 persen pada bulan Mei. Dengan
kondisi yang relatif sama, sebenarnya ruang pertumbuhan industri perbankan sya
riah nasional masih cukup terbuka ada di kisaran 30-35 persen. Namun dengan
asumsi bahwa tahun 2014 merupakan tahun peralihan otoritas perbankan dari BI ke
OJK, dimana industri perbankan khususnya dan industri keuangan nasional secara
umum akan lebih terfokus pada pembenahan kelembagaan, sehingga implikasinya
diperkirakan tidak ada kebijakan yang signifikan yang akan diambil untuk
mengakselerasi pertum- buhan industri lebih tinggi.
Dengan demikian, sebagai konsekuensi yang juga wajar, maka di
harapkan pembenahan kelembagaan meliputi pembenahan pondasi dasar yang
dibutuhkan oleh industri perbankan syariah nasional, yaitu kebutuhan mendesak
akan masterplan pengembangan industri perbankan syariah nasional. Momentum
penyatuan kewenangan regulasi industri keuangan Indonesia dibawah satu payung
OJK seharusnya menjadi mo mentum yang tepat untuk memperoleh sebuah grand
masterplan pengembangan system keuangan nasional yang kuat dan fokus pada ke
manfaatan maksimal bagi perekonomian Indonesia.
Terlebih lagi OJK memiliki amanah tambahan dengan disahkannya UU
No. 1 tahun 2013 ten tang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), maka sempurna pengawasan
industri keuangan nasional yang dilakukan oleh OJK, dari industri ke uangan
mikro yang melayani segmen masyarakat usaha mikro kecil sampai dengan industri
keuangan menengah besar (dominan oleh perbankan dan pasar modal) yang melayani
segmen masyarakat usaha menengah dan besar.
Menghadapi periode krusial un tuk implementasi UU Perbankan
Syariah dimana tahun 2023 seluruh pelaku perbankan syariah harus ber bentuk BUS
dan pemberlakukan liberalisasi keuangan atas kesepakatan Masyarakat Ekonomi
ASEAN tahun 2020 (khusus sektor keuangan), perlu mendapat perhatian yang lebih
dari OJK. Kesiapan regulasi dan kebijakan yang menciptakan lingkung anindustri
yang kondusif, memfasilitasi pemenuhan kebutuhan SDM yang kompeten, kelengkapan
infrastruktur yang mendorong pelayanan menyeluruh bagi semua segmen usaha dan
mendorong kinerja dan jangkauan pelayanan lembaga keuangan pada seluruh segmen
masyarakat usaha Indonesia. OJK masih memiliki wak tu yang cukup untuk
menyiapkan itu semua.
Namun kebutuhan yang paling mendesak untuk segera disediakan
adalah tersedianya grand masterplanpengembangan industri keuangan nasional.
Tentu masterplan pengembangan industri tersebut di susun secara terencana
dengan sistematis dan terukur. Sejauh ini dokumen resmi terkait ini sudah sering
didiskusikan, baik berupa BlueprintPengembangan Perbankan Syariah, Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) maupun Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI),
namun roadmap tersebut belum menjadi platform bersama yang secara resmi berlaku
dandipahami dengan baik sehingga menyatukan visi dan strategi teknis
pengembangan industri. Hal ini tentu menjadi tantangan awal bagi OJK. Sebagai
lembaga otoritas dari hampir meliputi semua industri dalam system keuangan
nasional, OJK tentu sangat membutuhkan roadmap pengembangan industri.
Dengan demikian, tahun 2014 menjadi tahun yang didominasi oleh
upaya konsolidasi industri keuangan khususnya industri perbankan syariah.
Konsekuensi hukum dari berlakunya UU OJK harus diikuti dengan penyesuaian UU
Perbankan termasuk UU Perbankan Syariah yang akan menjadi amanah OJK. Tantangan
berat pengembangan industri keuangan syariah termasuk perbankan syariah
didalamnya, memang akhirnya terletak pada harmonisasi kebijakan dan regulasi
yang diintegrasikan dalam satu payung OJK. Tetapi diyakini bahwa keterpaduan
ini akan memberikan efek akselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah
nasional karena diharapkan integrasi pengaturan akan mereduksi atau bahkan
mengeliminasi hambatan yang selama ini ada. Gaung sosialisasi perbankan syariah
akan lebih nyaring terdengar dengan baju kampanye industri keuangan syariah
nasional, karena skala promosi akan relatif lebih massif dan impactnya akan
lebih signifikan.
Konsekuensi turunan pada penyiapan SDM di sektor pendidikan akan
lebih serius dilakukan karena akan merujuk pada skala industri keuangan syariah
yang terlihat jauh lebih besar dan lebih nyata. Dan terakhir, skala besar yang
mencerminkan peran dan kontribusi industri keuangan syariah nasional termasuk
perbankan syariah, akan lebih menggugah peme rintah untuk lebih mengambil peran
aktif dalam mendorong industri ini, seperti menyediakan insentif kebijakan
seperti yang selama ini dinikmati industri yang sama di negara lain, misalnya
insentif pajak, keberpihakan memanfaatkan industri keuangan syariah dalam
pengelolaan treasury lembaga negara dan lain sebagainya. Semoga semua harapan
ini tidak sekedar menjadi harapan. Wallahu a'lam.
Oleh: Ali Sakti (Pengamat Perbankan Syariah dan Peneliti Tamu
FEM IPB)
0 comments:
Post a Comment